Jumat, 31 Juli 2015

Konflik KONI-KOI > Bapak dan Ibu Olahraga Berpisah, Anak-anak Terlantar


Sumber Asli -- C0I - Kondisi olahraga Indonesia bak cerita kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Bapak dan ibu konflik dan berpisah maka anak-anak bukan saja terlantar namun juga ada yang berkelahi. Kondisi diperparah karena pihak pengawas "perkawinan" tidak tegas dan justru malah ikut menjadi biang konflik.
            Begitulah bila dilihat secara sederhana. Komite Olahraga Nasional (KONI) tempat bernaungnya para pengurus besar/pengurus pusat (PB/PP) induk organisasi cabang olahraga bisa disebut sebagai Bapak. Sedangkan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang mengurus penampilan olahraga Indonesia ke forum dunia sebagai Ibu. Kemudian pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pemuda Dan Olahraga (Kemenpora) sebagai pengatur, pengembang, pembina, pelaksana dan pengawas.

            Hubungan Bapak dan Ibu olahraga Indonesia sejak lama memang mengalami pasangan surut. Beberapa kali mengalami perpecahan karena berbagai alasan termasuk kepentingan politik. Mulai tahun 1966, KONI dan KOI dilebur menjadi KONI dengan prinsip tidak menghapus kewenangan dan tugas masing-masing sehingga bergerak seperti sekeping mata.
            Kondisi berubah, ketika lahirnya Undang Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) Nomor 3 Tahun 2005. KONI dan KOI kembali berpisah menjadi dua dengan pimpinan masing-masing. Hubungan kedua lembaga ini tampak mesra ketika menjalani bulan madu sampai saat Indonesia menjadi tuan rumah SEA Games 2011 di Palembang dan Jakarta. Namun setelah itu secara perlahan namun pasti ketidakharmonisan keduanya maulai muncul  karena tumpang tindih dalam tugas dan masing-masing merasa berwenang membina sehingga kerap menimbulkan konflik.
            Perpecahan itu membuat prestasi Indonesia merosot di SEA Games 2013 Myanmar dan juga Asian Games 2014. Namun itu tidak membuat keduanya sadar untuk memperbaiki hubungan dan rujuk. Jadilah olahraga Indonesia makin terpuruk sehingga terperosok ke posisi lima SEA Games 2015 di Singapura.
            Di Kota Singa itu pula terungkap bagaimana sudah hancurnya hubungan KONI-KOI. Sama seperti kejadian di Myanmar, KOI sama sekali mengabaikan peran KONI sehingga tidak memberi memberikan id card SEA Games 2015 kepada KONI di Singapura.
            "KOI memang tidak menginginkan KONI yang secara tupoksinya sebagai pembina para cabang olahraga ada di multievent seperti SEA Games, padahal baik KOI maupun KONI mempunyai hak yang sama," kata Ketua Umum KONI Pusat, Tono Surtaman.
    Tono sebagai Ketum KONI Pusat dan Ketua Dewan Pelaksana Satlak Prima, justru dicoret dari daftar penerima akreditasi di ajang SEA Games. "Saya juga tidak tahu alasan pastinya. Kalau KOI permasalahkan logo KONI hal itu sudah diselesaikan lewat munas KONI, bahwa 5 ring itu menjadi lambang persatuan dari berbagai daerah. Kami tetap memakai 5 ring dan pengadilan Mahkamah Konstitusi tidak ada mengatakan demikian. Jadi semua punya hak yang sama, baik KOI maupun KONI," ungkapnya.
            Yang lebih memprihatinkan lagi, Komandan Satlak Prima Suwarno hanya diberikan ID Card Observer yang tidak punya akses masuk ke tempat-tempat pertandingan untuk memberikan dukungan kepada atlet-atlet binaannya. "Saya hanya diberikan ID Card observer dan menginap di hotel under construction (dalam taraf renovasi)," ujar Suwarno.
            Yang lebih parah lagi, kata Suwarno, adanya enam cabang olahraga yang tidak direkomendasikan Satlak Prima tapi bisa berangkat ke SEA Games karena disetujui KOI.
Belum lagi adanya pergantian atlet tenis meja yang sudah ditetapkan sebagai tim inti. Ditambah lagi, adanya pergantian manajer di cabang tenis meja dan berkuda.
            "Pergantian manajer berkuda hanya karena tidak sejalan dengan KOI. Dan, pergantian manajer tenis meja yang berakibat salah menyusun komposisi pemain," ujarnya.
            Permasalahan yang terjadi antara KONI dan KOI dampaknya sangat besar bahkan merembet pada beberapa induk cabang olahraga Indonesia yang selama ini membina atlet-atlet nasional. Munculah perpecahan pada beberapa cabang olahraga. Ini menimbulkan keanehan karena pengurus cabang olahraga yang tidak diakui KONI maka akan meminta pengakuan pada KOI. Begitu juga sebaliknya.
            Tak pelak lagi urusan utama dalam pembinaan atlet menjadi korban. Uang saku, peralatan latihan, uji coba dan fasilitas atlet lainnya terhambat.
            Untuk mengatasi masalah itu Menteri Pemuda Dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi berusaha akan menyatukan KONI-KOI. Dia berharap wacana ini bisa menjadi kenyataan.
            Upaya Menpora itu ditindaklanjuti Kemenpora melalui rapat kerja (raker) induk organisasi keolahragaan yang menghasilkan kesepakatan bahwa KONI dan KOI akan kembali dipimpin satu orang. KONI dan KOI tidak lagi dipimpin oleh satu orang ketua umum setelah UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) Nomor 3 Tahun 2005 disahkan.
            "Kedua lembaga tersebut nantinya akan disatukan dengan nama baru dengan dua fungsi," ujar Staf Ahli Bidang Sumber Daya Keolahragaan Kemenpora Tunas Dwidharto.
            Namun upaya Menpora itu diragukan bisa berhasil karena pihaknya lebih mengurusi cabang olahraga sepak bola. Langkah yang dilakukan Menpora dalam menangani sepak bola  dengan membekukan kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) juga memicu konflik dan sanksi dari FIFA (Badan Sepak Bola Internasional).
            Selain sepak bola terpecah kembali juga hancur. Masyarakat sepak bola mulai dari pemain, pelatih, pembina dan pedagang kecil menjadi pengangguran karena kompetisi tidak berjalan.
            Kini, kondisi sepakbola Indonesia semakin carut marut. Bukan hanya program pembinaan sepakbola terhenti tetapi korban-korban mulai berjatuhan. Hal ini terkuak pada saat Komisioner Komnas HAM, Siane Indriyani menerima laporan keluhan dari pelatih, wasit  perangkat pertandingan seperti wasit, pengawas pertandingan, suporter, pedagang merchandise dan pedagang di Kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (27/7/2015).
    "Kalau hitungan saya 17 ribu lebih pemain, pelatih, ofisial yang kerjanya harus berhenti karena pembekuan. Mereka itu menggantungkan hidupnya dari sepak bola. Kini, mereka sudah tidak lagi bisa mengangsur rumah dan membiayai sekolah anaknya," kata mantan pelatih timnas, Rahmad Darmawan.
    Dengan kenyataan itu maka konflik dalam olahraga Indonesia tidak akan mudah teratasi dengan segera. Dibutuhkan kebesaran hati dari para pembina olahraga untuk melepaskan ego sektoral dan dendam pribadi untuk menyelesaikan karut marut olahraga Indonesia. Lewat kewenangannya yang besar Menpora diharapkan bisa menjadi contoh dan figur pemersatu olahraga Indonesia. Bukan justru menambah konflik dan masalah.
- ***
========= Dukungan untuk Cinta Olahraga Indonesia bisa dikirimkan langsung melalui: BANK BCA KCP PALMERAH NO REKENING 2291569317 BANK MANDIRINO REKENING 102-00-9003867-7 =========
-->

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2013 berita hangat - Template by Efachresya - Editor premium Top coi