Sumber Asli -- C0I -Setiap tanggal 9 September, insan olahraga khususnya dan masyarakat Indonesia, seharusnya ceria. Pasalnya inilah peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Hari penting ini akan memberikan keceriaan dan kebanggaan bila prestasi olahraga Indonesia berkibar di tingkat Asia Tenggara, Asia dan dunia.
Namun September kali ini menjadi kelabu. Selain prestasi merosot juga olahraga Indonesia karut marut dengan berbagai persoalan. Masa kelabu ini tentunya harus segera diakhiri. Haornas
harus dijadikan momentum kebangkitan olahraga nasional.
Perjalanan prestasi negeri ini yang terus menurun sejak menjuarai SEA Games 2011 di Jakarta – Palembang, harus dievaluasi secara mendalam. Kenapa pada dua SEA Games terakhir 2013 di Myanmar dan 2015 di Singapura Indonesia terpuruk ke peringkat 4 dan 5.
Ironis memang. Sebagai pemuncak klasemen pada SEA Games 2011, dimana saat itu Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dipimpim oleh satu Ketua, dua tahun berikut terjun bebas ke peringkat 4 di Myanmar dan empat tahun kemudian menjadi peringkat 5 di Singapura. Hal ini terjadi setelah Munas KONI di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) Desember 2011 Ketua KONI dan KOI dibelah dua.
Dengan satu kapal dua nahkoda seperti sekarang ini, maka terjadi tarik ulur dalam pembinaan prestasi olahraga di Tanah Air. Meski dalam bidang tugasnya sudah jelas diatur KONI menangani pembinaan dan KOI untuk penyelenggaraan, toh pada kenyataannya tidak bisa berjalan seiring.
Arogansi KOI sebagai pihak yang menerima atlet binaan KONI untuk ajang multi event, terlihat sangat terang. Bahkan lebih parah lagi seorang Ketua Umum KONI pun tidak bisa memperoleh ID Card untuk menyaksikan anak didiknya bertarung di SEA Games Singapura. Begitu juga dengan Ketua Satlak Prima yang harus mendapatkan ID Card sebagai pengunjung untuk SEA Games Singapura.
Keinginan untuk menyatukan KONI – KOI akhirnya menguat sejurus dengan penurunan prestasi olahraga Tanah Air. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi KONI Provinsi DKI Jakarta Hidayat Humaid menegaskan, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki kondisi olahraga Tanah Air agar suasananya kondusif, kecuali menyatukan KONI – KOI.
"Momentum Haornas ini harus dimanfaatkan untuk membangun semangat penyatuan KONI – KOI. Meski upaya ini sudah berjalan sejak beberapa tahun terakhir ini dan sudah ada tim amandemen UU No 3 Tahun 2015 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), kita juga harus mengawalnya agar tim itu tidak berhenti bekerja," kata Hidayat.
Apa yang diinginkan Hidayat Humaid juga berbanding lurus dengan keinginan KONI – KONI Provinsi yang berdiskusi dalam kaukus KONI Indonesia di Hotel Le Meridien, akhir pekan lalu. Ketua KONI Sumut John Lubis, Ketua KONI Papua Hengky Sawengki, Ketua KONI Maluku, Ketua KONI NTB, dan lainnya satu suara untuk menyatukan KONI – KOI. Mereka ingin KONI – KOI menjadi satu rumah dengan satu kepala keluarga.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Wushu Indonesia (PB WI), Khairul Azmi mengharapkan Haornas kali ini bisa menjadi momentum menyatukan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). "Jangan lagi ada konflik yang jelas mengganggu pembinaan olahraga Indonesia. KONI dan KOI harus bersatu. Kan, ormatnya bisa satu pemimpin dua organisasi," ujarnya.
Usulan lainnya, Sekretaris KONI Sumut ini meminta Kemenpora memperjuangkan adanya perlakuan khusus kepada atlet yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipili (PNS). "Kalau bisa Kemenpora memperjuangkan kepada Mendagri agar atlet yang ingin jadi PNS seleksinya jangan disamakan dengan yang lain," ujarnya.
Sementara itu Haornas di kalangan pelaku sepak bola menjadi tak berarti apa-apa selain dengan kematian sepak bola Indonesia. Konflik antara PSSI dan Menpora benar-benar sudah membuat sepakbola Indonesia seperti mati suri dalam lima bulan terakhir.
Hal itu pula yang dirasakan Rahmad Darmawan. Menurutnya, saat ini lebih banyak polemik yang tercipta dibandingkan pembinaan ataupun pembangunan sepakbola itu sendiri, yang digaungkan oleh kedua pihak selama berseteru. Hal ini menjadi bertentangan dengan makna dan harapan Haornas itu sendiri.
RD pun kembali mengingatkan kedua pihak, setelah adanya keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang memenangkan gugatan PSSI atas Menpora.
"Lalu apa maknanya? Buat saya nggak penting Haornas, dibenak saya hanya berfikir kapan mereka (PSSI-Menpora--red) lelah? Dan kemudian keduanya mengatakan kami ternyata kalah semua (kalah dua-duanya)," ujar RD yang saat dihubungi Kamis (4/9) tengah berada di Bali.
"Karena lima bulan terakhir kami telah gagal membuat sepakbola kita lebih baik, karena kami membiarkan orang-orang dengan mudah memfitnah pemain-pemain nasional yang sudah memberi semua kemampuan yg mereka miliki meski mereka gagal mendapat medali, kami kalah," sambung pelatih Persija Jakarta itu yang tengah berada di Bali dalam rangkain Piala Presiden itu.
Di samping itu, pelatih asal Lampung ini juga mengajak kedua pihak prihatin dengan kondisi timnas Indonesia U-16 dan U-19 yang harus mengubur impian mereka berlaga di pentas internasional, lantaran konflik tersebut. Padahal, dua tim itu direncanakan tampil pada Piala AFF U-16 dan U-19 di Indonesia, tahun ini.
Selain itu, mantan pelatih timnas Indonesia U-23 ini juga menuturkan PSSI dan Menpora semestinya juga merasa kalah, karena belum bisa membuat kompetisi yang melibatkan seluruh klub di Indonesia. Termasuk, gagal memenuhi hak-hak ribuan pesepakbola yang terpaksa tidak berpenghasilan kembali karena berhentinya kontrak mereka, akibat pihak -pihak yang bertikai.
"Saya ingin ini disudahi. Sudahilah pertikaian ini," harap RD.
Begitulah keprihatinan yang mewarnai Haornas kali ini. Apalagi selama ini peringatan Haornas masih diperingati sebatas sebuah seremoni.
Sejak 65 tahun lalu tepatnya tanggal 9 September tahun 1948, para pendiri bangsa bersama tokoh-tokoh olahraga nasional menjadikan olahraga sebagai bagian dari perjuangan bangsa, dengan menggelar Pekan Olah Raga Nasional (PON) I di Kota Solo, Jawa Tengah. PON kemudian digelar setiap empat tahun dan menjadi ajang unjuk kebolehan atlet-atlet nasional maupun atlet daerah. Maka tak heran jika kemudian tanggal 9 September ditetapkan sebagai Hari Olah Raga Nasional.
Para tokoh yang mengagas PON I di Solo sepertinya sudah menyadari bahwa olah raga adalah salah satu faktor penting dalam kehidupan berbangsa. Rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia akan muncul ketika atlet Indonesia berhasil meraih gelar juara di ajang internasional, dan bendera Merah Putih berkibar diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dengan alasan itulah maka pemerintah seharusnya tidak menjadikan Haornas hanya sebagai kegiatan seremoni belaka. Haornas harus selalu dijadikan pecut untuk membangkitkan olahraga Indonesia.
--> Namun September kali ini menjadi kelabu. Selain prestasi merosot juga olahraga Indonesia karut marut dengan berbagai persoalan. Masa kelabu ini tentunya harus segera diakhiri. Haornas
harus dijadikan momentum kebangkitan olahraga nasional.
Perjalanan prestasi negeri ini yang terus menurun sejak menjuarai SEA Games 2011 di Jakarta – Palembang, harus dievaluasi secara mendalam. Kenapa pada dua SEA Games terakhir 2013 di Myanmar dan 2015 di Singapura Indonesia terpuruk ke peringkat 4 dan 5.
Ironis memang. Sebagai pemuncak klasemen pada SEA Games 2011, dimana saat itu Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dipimpim oleh satu Ketua, dua tahun berikut terjun bebas ke peringkat 4 di Myanmar dan empat tahun kemudian menjadi peringkat 5 di Singapura. Hal ini terjadi setelah Munas KONI di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) Desember 2011 Ketua KONI dan KOI dibelah dua.
Dengan satu kapal dua nahkoda seperti sekarang ini, maka terjadi tarik ulur dalam pembinaan prestasi olahraga di Tanah Air. Meski dalam bidang tugasnya sudah jelas diatur KONI menangani pembinaan dan KOI untuk penyelenggaraan, toh pada kenyataannya tidak bisa berjalan seiring.
Arogansi KOI sebagai pihak yang menerima atlet binaan KONI untuk ajang multi event, terlihat sangat terang. Bahkan lebih parah lagi seorang Ketua Umum KONI pun tidak bisa memperoleh ID Card untuk menyaksikan anak didiknya bertarung di SEA Games Singapura. Begitu juga dengan Ketua Satlak Prima yang harus mendapatkan ID Card sebagai pengunjung untuk SEA Games Singapura.
Keinginan untuk menyatukan KONI – KOI akhirnya menguat sejurus dengan penurunan prestasi olahraga Tanah Air. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi KONI Provinsi DKI Jakarta Hidayat Humaid menegaskan, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki kondisi olahraga Tanah Air agar suasananya kondusif, kecuali menyatukan KONI – KOI.
"Momentum Haornas ini harus dimanfaatkan untuk membangun semangat penyatuan KONI – KOI. Meski upaya ini sudah berjalan sejak beberapa tahun terakhir ini dan sudah ada tim amandemen UU No 3 Tahun 2015 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), kita juga harus mengawalnya agar tim itu tidak berhenti bekerja," kata Hidayat.
Apa yang diinginkan Hidayat Humaid juga berbanding lurus dengan keinginan KONI – KONI Provinsi yang berdiskusi dalam kaukus KONI Indonesia di Hotel Le Meridien, akhir pekan lalu. Ketua KONI Sumut John Lubis, Ketua KONI Papua Hengky Sawengki, Ketua KONI Maluku, Ketua KONI NTB, dan lainnya satu suara untuk menyatukan KONI – KOI. Mereka ingin KONI – KOI menjadi satu rumah dengan satu kepala keluarga.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Wushu Indonesia (PB WI), Khairul Azmi mengharapkan Haornas kali ini bisa menjadi momentum menyatukan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). "Jangan lagi ada konflik yang jelas mengganggu pembinaan olahraga Indonesia. KONI dan KOI harus bersatu. Kan, ormatnya bisa satu pemimpin dua organisasi," ujarnya.
Usulan lainnya, Sekretaris KONI Sumut ini meminta Kemenpora memperjuangkan adanya perlakuan khusus kepada atlet yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipili (PNS). "Kalau bisa Kemenpora memperjuangkan kepada Mendagri agar atlet yang ingin jadi PNS seleksinya jangan disamakan dengan yang lain," ujarnya.
Sementara itu Haornas di kalangan pelaku sepak bola menjadi tak berarti apa-apa selain dengan kematian sepak bola Indonesia. Konflik antara PSSI dan Menpora benar-benar sudah membuat sepakbola Indonesia seperti mati suri dalam lima bulan terakhir.
Hal itu pula yang dirasakan Rahmad Darmawan. Menurutnya, saat ini lebih banyak polemik yang tercipta dibandingkan pembinaan ataupun pembangunan sepakbola itu sendiri, yang digaungkan oleh kedua pihak selama berseteru. Hal ini menjadi bertentangan dengan makna dan harapan Haornas itu sendiri.
RD pun kembali mengingatkan kedua pihak, setelah adanya keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang memenangkan gugatan PSSI atas Menpora.
"Lalu apa maknanya? Buat saya nggak penting Haornas, dibenak saya hanya berfikir kapan mereka (PSSI-Menpora--red) lelah? Dan kemudian keduanya mengatakan kami ternyata kalah semua (kalah dua-duanya)," ujar RD yang saat dihubungi Kamis (4/9) tengah berada di Bali.
"Karena lima bulan terakhir kami telah gagal membuat sepakbola kita lebih baik, karena kami membiarkan orang-orang dengan mudah memfitnah pemain-pemain nasional yang sudah memberi semua kemampuan yg mereka miliki meski mereka gagal mendapat medali, kami kalah," sambung pelatih Persija Jakarta itu yang tengah berada di Bali dalam rangkain Piala Presiden itu.
Di samping itu, pelatih asal Lampung ini juga mengajak kedua pihak prihatin dengan kondisi timnas Indonesia U-16 dan U-19 yang harus mengubur impian mereka berlaga di pentas internasional, lantaran konflik tersebut. Padahal, dua tim itu direncanakan tampil pada Piala AFF U-16 dan U-19 di Indonesia, tahun ini.
Selain itu, mantan pelatih timnas Indonesia U-23 ini juga menuturkan PSSI dan Menpora semestinya juga merasa kalah, karena belum bisa membuat kompetisi yang melibatkan seluruh klub di Indonesia. Termasuk, gagal memenuhi hak-hak ribuan pesepakbola yang terpaksa tidak berpenghasilan kembali karena berhentinya kontrak mereka, akibat pihak -pihak yang bertikai.
"Saya ingin ini disudahi. Sudahilah pertikaian ini," harap RD.
Begitulah keprihatinan yang mewarnai Haornas kali ini. Apalagi selama ini peringatan Haornas masih diperingati sebatas sebuah seremoni.
Sejak 65 tahun lalu tepatnya tanggal 9 September tahun 1948, para pendiri bangsa bersama tokoh-tokoh olahraga nasional menjadikan olahraga sebagai bagian dari perjuangan bangsa, dengan menggelar Pekan Olah Raga Nasional (PON) I di Kota Solo, Jawa Tengah. PON kemudian digelar setiap empat tahun dan menjadi ajang unjuk kebolehan atlet-atlet nasional maupun atlet daerah. Maka tak heran jika kemudian tanggal 9 September ditetapkan sebagai Hari Olah Raga Nasional.
Para tokoh yang mengagas PON I di Solo sepertinya sudah menyadari bahwa olah raga adalah salah satu faktor penting dalam kehidupan berbangsa. Rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia akan muncul ketika atlet Indonesia berhasil meraih gelar juara di ajang internasional, dan bendera Merah Putih berkibar diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dengan alasan itulah maka pemerintah seharusnya tidak menjadikan Haornas hanya sebagai kegiatan seremoni belaka. Haornas harus selalu dijadikan pecut untuk membangkitkan olahraga Indonesia.
- ***
========= Dukungan untuk Cinta Olahraga Indonesia bisa dikirimkan langsung melalui: BANK BCA KCP PALMERAH NO REKENING 2291569317 BANK MANDIRINO REKENING 102-00-9003867-7 =========
0 komentar:
Posting Komentar