Oleh Gungde Ariwangsa SH
Sumber Asli -- C0I - Saat melepas Kontingen Indonesia ke SEA Games 2017 Malaysia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyempatkan diri bermain tenis meja. Presiden yang berpasangan dengan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Erick Thohir menghadapi duet Susy Susanti/Yopie Warsono. Pertandingan di halaman tengah Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/8) mendapat sambutan meriah dari para atlet, pelatih dan pembina serta undangan yang hadir.
Presiden Jokowi termasuk lincah bermain memainkan bet. Bahkan beberapa kali mengeluarkan smash (smes) ke arah lawannya. Meskipun ada yang menyangkut di net namun Jokowi tidak lelah melancarkan smes untuk mengatasi lawan. Apalagi ada teriakan "Smes lagi, Pak," dari beberapa atlet.
Penampilan Jokowi bermain tenis meja sama seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat menerima kontingen atlet difabel Indonesia. Namun kala itu SBY bermain tunggal, bukan seperti Jokowi yang memilih main ganda, melawan atlet peraih tujuh medali emas pada ASEAN Para Games 2011 David Yakub. Pertandingan yang berlangsung di Istana Merdeka itu juga seru.
Tentu sungguh menggembirakan pemimpin negara ini hobi berolahraga. Ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi rakyat untuk berolahraga demi menciptakan badan dan jiwa yang sehat serta prestasi untuk mengangkat nama bangsa dan negara melalui olahraga di fora internasional. Selain itu, dengan memainkan langsung olahraga membuktikan pemimpin negara ini mempunyai perhatian terhadap olahraga. Dengan demikian tinggal para pembantunya menterjemahkan hal ini dengan baik untuk membangun olahraga Indonesia dengan baik dan berprestasi membanggakan pula.
Namun melihat kenyataan di lapangan, saat ini olahraga belumlah menjadi leading sector dalam pembangunan di Indonesia. Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden RI I, Soekarno yang menempatkan olahraga sebagai sektor andalan dalam membangun bangsa dan juga menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai bangsa merdeka di tingkat dunia. Indonesia pun menjadi kekuatan olahraga yang menggetarkan dan dipuji dengan sukses prestasi dan penyelanggaraan Asian Games IV tahun 1962.
Kondisi olahraga saat ini sungguh memprihatinkan. Ironi paling jelas tentunya bisa dilihat pada kondisi cabang olahraga yang dimainkan Jokowi dan SBY yaitu tenis meja. Tenis meja saat ini terpecah dua. Ada Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) pimpinan Lukman Edi dan Pengurus Pusat (PP) PTMSI yang dinakhodai Oegroseno.
Perpecahan itu membuat prestasi tenis meja Indonesia terus merosot. Bila dulu mampu menggetarkan dunia dan menjadi raksasa di Asia Tenggara maka kini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Di dalam negeri sendiri tenis meja seperti berada dalam kondisi hidup segan mati pun tidak mau.
Selain ironi tenis meja, secara umum, olahraga Indonesia belum mendapat penanganan secara sempurna. Tidak ada keharmonisan yang iklas dan tulus dari lembaga-lembaga tinggi olahraga nasional. Penonjolan ego sektoral masih terjadi sehingga tarik-menarik kepentingan kerap terjadi. Sudah begitu pemerintah yang mendapat amanat dan kekuasaan luar biasa membangun olahraga dalam Undang Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) Nomor 3 Tahun 2005 belum mampu menelorkan kebijakan yang berjenjang, berkesinambungan dan fokus mengarah kepada sasaran prestasi dunia.
Alokasi anggaran untuk olahraga pun masih jauh dari harapan. Sudah begitu dana yang ada tidak bisa disalurkan secara tepat dengan tujuan mencetak peningkatan prestasi. Bahkan sangat menyedihkan dana yang terbatas untuk olahraga itu dimainkan oleh tangan-tangan jahil sehingga muncul kasus korupsi di olahraga.
Bisa disebutkan di sini kasus Wisma Atlet SEA Games 2011, Hambalang dan Dana Sosialisasi Asian Games 2018 membuktikan olahraga sudah berubah dari ajang prestasi menjadi ladang korupsi. Terakhir, status disclaimer untuk kedua kalinya laporang keuangan Kemenpora oleh Badan Pemeriksa Keuangan membuat tanda tanya besar. Ada apa?
Kondisi itu membuat kepentingan atlet dikesampingkan dan dikorbankan. Sangat aneh rasanya dalam setiap menghadapi pesta olahraga tingkat Asia Tengara (SEA Games), Asia (Asian Games), dan dunia (olimpiade) persiapan para atlet Merah Putih kerap menghadapi kendala. Uang saku terlampat, program uji coba dan latihan tidak bisa dilaksanakan sesuai program, peralatan terlambat menjadi cerita bersambung yang tidak mampu ditutup dengan happy ending.
Cerita terus berulang karena Kemenpora, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan super body Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) seperti berjalan sendiri-sendiri dalam menangani olahraga prestasi Indonesia. Masing-masing merasa bisa dan hebat. Padahal nyatanya prestasi terus merosot.
Petinggi pemangku olahraga prestasi Indonesia itu tidak mampu mewujudkan suatu program yang satu arah dan satu tujuan serta bisa dilaksanaka secara bersama seiring sejalan. Masyarakat menjadi bingung karena kebijakan olahraga terus berubah setiap ganti pejabat. Sudah begitu pembagian tugas dan kewenangan seperti tumpang tindih antarlembaga pembinaan prestasi tersebut.
Persiapan kontingen Indonesia menuju SEA Games 2017 di Malaysia menggambarkan buruknya kondisi penanganan olahraga Indonesia. Dalam menentukan target saja tidak ada satu kata. Sudah begitu Indonesia sebagai negara yang pernah begitu adidaya kini tidak berani lagi bersuara lantang untuk melontarkan target juara umum. Para pembina mengambil sikap aman dengan target minimalis. Parahnya lagi ada yang mengecilkan arti prestasi SEA Games dengan memberi mimpi fokus ke prestasi Olimpiade.
Coba dengar jawaban yang muncul ketika ditanya masalah target di SEA Games 2017? Ada yang mengatakan SEA Games bukan target utama. Hanya sebagai sasaran antara menuju Asian Games. Indonesia cukup masuk tiga besar saja sudah luar biasa.
Diakui atau tidak, SEA Games merupakan tahapan awal langkah sebelum bicara lantang ke tingkat Asia dan dunia. Jika SEA Games sebagai fondasi saja masih kropos bagaimana mampu membangun ketangguhan di Asia dan kejayaan di dunia.
Maka sangatlah tepat apa yang dinyatakan Presiden Jokowi ketika melepas Kontingen Indonesia menuju SEA Games 2017. Presiden menolak anggapan, jika pengiriman kontingen Indonesia ke ajang pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia, hanya sebagai ajang percobaan untuk Asian Games XVIII Tahun 2018, yang akan digelar di Palembang dan Jakarta, tahun 2018 mendatang.
“Masa percobaan. SEA Games ya SEA Games dan targetnya emas ya emas, targetnya juara ya juara. Dan ini nanti menjadi batu untuk melompat ke Asian Games, persiapan menuju ke Asian Games, arahnya ke sana,” kata Presiden.
Bahkan Kepala Negara mengingatkan, sebagai negara besar, Indonesia mestinya memasang target juara umum pada ajang SEA Games XXIX. Jika sebelumnya, Indonesia sudah 10 kali juara umum SEA Games maka kalau bisa menjadi 11 kali akan jauh lebih baik.
Tampaknya Presiden Jokowi bukan hanya ahli melancarkan smes di meja ping pong. Dari pernyataannya itu Presiden juga ahli memberi smes kepada para petinggi pembina olahraga Indonesia. Ternyata cita-cita besarnya tidak mampu diterjemhkan secara baik dan tepat oleh orang-orang kepercayaannya di olahraga. Jadi, jika masih kerdil dan berpikiran sektoral maka prestasi yang diraih pun akan semakin kerdil dan tercerai berai serta lama-lama lenyap. ***
Gungde Ariwangsa SH, wartawan pemegang kartu utama yang juga Ketua Harian SIWO PWI Pusat. HP: 082110068126, E-mail: aagwaa@yahoo.com
--> Sumber Asli -- C0I - Saat melepas Kontingen Indonesia ke SEA Games 2017 Malaysia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyempatkan diri bermain tenis meja. Presiden yang berpasangan dengan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Erick Thohir menghadapi duet Susy Susanti/Yopie Warsono. Pertandingan di halaman tengah Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/8) mendapat sambutan meriah dari para atlet, pelatih dan pembina serta undangan yang hadir.
Presiden Jokowi termasuk lincah bermain memainkan bet. Bahkan beberapa kali mengeluarkan smash (smes) ke arah lawannya. Meskipun ada yang menyangkut di net namun Jokowi tidak lelah melancarkan smes untuk mengatasi lawan. Apalagi ada teriakan "Smes lagi, Pak," dari beberapa atlet.
Penampilan Jokowi bermain tenis meja sama seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat menerima kontingen atlet difabel Indonesia. Namun kala itu SBY bermain tunggal, bukan seperti Jokowi yang memilih main ganda, melawan atlet peraih tujuh medali emas pada ASEAN Para Games 2011 David Yakub. Pertandingan yang berlangsung di Istana Merdeka itu juga seru.
Tentu sungguh menggembirakan pemimpin negara ini hobi berolahraga. Ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi rakyat untuk berolahraga demi menciptakan badan dan jiwa yang sehat serta prestasi untuk mengangkat nama bangsa dan negara melalui olahraga di fora internasional. Selain itu, dengan memainkan langsung olahraga membuktikan pemimpin negara ini mempunyai perhatian terhadap olahraga. Dengan demikian tinggal para pembantunya menterjemahkan hal ini dengan baik untuk membangun olahraga Indonesia dengan baik dan berprestasi membanggakan pula.
Namun melihat kenyataan di lapangan, saat ini olahraga belumlah menjadi leading sector dalam pembangunan di Indonesia. Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden RI I, Soekarno yang menempatkan olahraga sebagai sektor andalan dalam membangun bangsa dan juga menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai bangsa merdeka di tingkat dunia. Indonesia pun menjadi kekuatan olahraga yang menggetarkan dan dipuji dengan sukses prestasi dan penyelanggaraan Asian Games IV tahun 1962.
Kondisi olahraga saat ini sungguh memprihatinkan. Ironi paling jelas tentunya bisa dilihat pada kondisi cabang olahraga yang dimainkan Jokowi dan SBY yaitu tenis meja. Tenis meja saat ini terpecah dua. Ada Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) pimpinan Lukman Edi dan Pengurus Pusat (PP) PTMSI yang dinakhodai Oegroseno.
Perpecahan itu membuat prestasi tenis meja Indonesia terus merosot. Bila dulu mampu menggetarkan dunia dan menjadi raksasa di Asia Tenggara maka kini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Di dalam negeri sendiri tenis meja seperti berada dalam kondisi hidup segan mati pun tidak mau.
Selain ironi tenis meja, secara umum, olahraga Indonesia belum mendapat penanganan secara sempurna. Tidak ada keharmonisan yang iklas dan tulus dari lembaga-lembaga tinggi olahraga nasional. Penonjolan ego sektoral masih terjadi sehingga tarik-menarik kepentingan kerap terjadi. Sudah begitu pemerintah yang mendapat amanat dan kekuasaan luar biasa membangun olahraga dalam Undang Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) Nomor 3 Tahun 2005 belum mampu menelorkan kebijakan yang berjenjang, berkesinambungan dan fokus mengarah kepada sasaran prestasi dunia.
Alokasi anggaran untuk olahraga pun masih jauh dari harapan. Sudah begitu dana yang ada tidak bisa disalurkan secara tepat dengan tujuan mencetak peningkatan prestasi. Bahkan sangat menyedihkan dana yang terbatas untuk olahraga itu dimainkan oleh tangan-tangan jahil sehingga muncul kasus korupsi di olahraga.
Bisa disebutkan di sini kasus Wisma Atlet SEA Games 2011, Hambalang dan Dana Sosialisasi Asian Games 2018 membuktikan olahraga sudah berubah dari ajang prestasi menjadi ladang korupsi. Terakhir, status disclaimer untuk kedua kalinya laporang keuangan Kemenpora oleh Badan Pemeriksa Keuangan membuat tanda tanya besar. Ada apa?
Kondisi itu membuat kepentingan atlet dikesampingkan dan dikorbankan. Sangat aneh rasanya dalam setiap menghadapi pesta olahraga tingkat Asia Tengara (SEA Games), Asia (Asian Games), dan dunia (olimpiade) persiapan para atlet Merah Putih kerap menghadapi kendala. Uang saku terlampat, program uji coba dan latihan tidak bisa dilaksanakan sesuai program, peralatan terlambat menjadi cerita bersambung yang tidak mampu ditutup dengan happy ending.
Cerita terus berulang karena Kemenpora, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan super body Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) seperti berjalan sendiri-sendiri dalam menangani olahraga prestasi Indonesia. Masing-masing merasa bisa dan hebat. Padahal nyatanya prestasi terus merosot.
Petinggi pemangku olahraga prestasi Indonesia itu tidak mampu mewujudkan suatu program yang satu arah dan satu tujuan serta bisa dilaksanaka secara bersama seiring sejalan. Masyarakat menjadi bingung karena kebijakan olahraga terus berubah setiap ganti pejabat. Sudah begitu pembagian tugas dan kewenangan seperti tumpang tindih antarlembaga pembinaan prestasi tersebut.
Persiapan kontingen Indonesia menuju SEA Games 2017 di Malaysia menggambarkan buruknya kondisi penanganan olahraga Indonesia. Dalam menentukan target saja tidak ada satu kata. Sudah begitu Indonesia sebagai negara yang pernah begitu adidaya kini tidak berani lagi bersuara lantang untuk melontarkan target juara umum. Para pembina mengambil sikap aman dengan target minimalis. Parahnya lagi ada yang mengecilkan arti prestasi SEA Games dengan memberi mimpi fokus ke prestasi Olimpiade.
Coba dengar jawaban yang muncul ketika ditanya masalah target di SEA Games 2017? Ada yang mengatakan SEA Games bukan target utama. Hanya sebagai sasaran antara menuju Asian Games. Indonesia cukup masuk tiga besar saja sudah luar biasa.
Diakui atau tidak, SEA Games merupakan tahapan awal langkah sebelum bicara lantang ke tingkat Asia dan dunia. Jika SEA Games sebagai fondasi saja masih kropos bagaimana mampu membangun ketangguhan di Asia dan kejayaan di dunia.
Maka sangatlah tepat apa yang dinyatakan Presiden Jokowi ketika melepas Kontingen Indonesia menuju SEA Games 2017. Presiden menolak anggapan, jika pengiriman kontingen Indonesia ke ajang pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia, hanya sebagai ajang percobaan untuk Asian Games XVIII Tahun 2018, yang akan digelar di Palembang dan Jakarta, tahun 2018 mendatang.
“Masa percobaan. SEA Games ya SEA Games dan targetnya emas ya emas, targetnya juara ya juara. Dan ini nanti menjadi batu untuk melompat ke Asian Games, persiapan menuju ke Asian Games, arahnya ke sana,” kata Presiden.
Bahkan Kepala Negara mengingatkan, sebagai negara besar, Indonesia mestinya memasang target juara umum pada ajang SEA Games XXIX. Jika sebelumnya, Indonesia sudah 10 kali juara umum SEA Games maka kalau bisa menjadi 11 kali akan jauh lebih baik.
Tampaknya Presiden Jokowi bukan hanya ahli melancarkan smes di meja ping pong. Dari pernyataannya itu Presiden juga ahli memberi smes kepada para petinggi pembina olahraga Indonesia. Ternyata cita-cita besarnya tidak mampu diterjemhkan secara baik dan tepat oleh orang-orang kepercayaannya di olahraga. Jadi, jika masih kerdil dan berpikiran sektoral maka prestasi yang diraih pun akan semakin kerdil dan tercerai berai serta lama-lama lenyap. ***
Gungde Ariwangsa SH, wartawan pemegang kartu utama yang juga Ketua Harian SIWO PWI Pusat. HP: 082110068126, E-mail: aagwaa@yahoo.com
***